Tuesday, June 21, 2011

Prisip Etika Bisnis Konvensional


       KATA PENGANTAR

 Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
            Untaian puji hanyalah milik Allah. Kita memuji, memohon pertolongan, dan memohon ampun kepada-Nya. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari segala kejahatan diri dan keburukan amalan kita. Barangsiapa diberi pentujuk Allah, tidak akan ada yang mampu menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan Allah, tidak akan ada yang mampu memberi petunjuk kepadanya.
            Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusanNya. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada beliau, keluarga, para sahabat, serta para pengikutnya yang mengikuti ajaran mereka dengan baik hingga hari kiamat.
Amma ba’du.
                        Dalam makalah ini saya akan membahas materi PRINSIP-PRINSIP ETIKA BISNIS KONVENSIONAL. Dalam mata kuliah Etika Bisnis Syariah, dan dosen pembimbing mata  kuliah ini ustad Abdul Rasyid M.SI yang membimbing dalam pembuatan makalah ini.






Bogor, 22 maret 2011
Hormat Saya,
Lies Nur Indriyani




DAFTAR ISI
Kata Pengantar                                                                                               1
Daftar Isi                                                                                                         2
BAB I
Pendahuluan                                                                                                   3-4 BAB II
Pembahasan
A.    Definisi Etika                                                                                             5
B.     Definisi Bisnis                                                                                            5
C.     Beberapa prinsip umum etika bisnis                                                           6
D.    Prinsip-prinsip etika berbisnis konvensional                                               6-8
E.     Etos Bisnis                                                                                                 8
F.      Relativitas moral dalam bisnis                                                                    8
G.    Pendekatan Stakeholder                                                                            9
H.    Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menciptakan etika bisnis              10-13
I.       Tiga Prinsip Universal                                                                                13-14
BAB III
Penutup                                                                                                                        15
Daftar Pustaka                                                                                                 16


BAB I
PENDAHULUAN
Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis
Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?. Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika bisnis. Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi. Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya menjadi masalah bagi pemerintah dan dunia usaha adalah masih adanya pelanggaran terhadap upah buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk nasional terkena batasan di pasar internasional. Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan yang mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber alam yang sangat berharga. Perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Etika
Etika itu sendiri merupakan salah satu disiplin pokok dalam filsafat, ia merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar berhasil menjadi sebagai manusia.[1]
Etika (ethics) yang berasal dari bahasa Yunani ethikos mempunyai beragam arti : petama, sebagai analisis konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti, ugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, pencairan ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, pencairan kehidupan yang baik secara moral.[2]
Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan
(rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam pengertian ini. Etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai baik atau buruk. Sedangkan Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah. Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik. Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.

B.     Definisi Bisnis
Kata bisnis dalam Al-Qur’an yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab tijaraha, berawal dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna berdagang atau berniaga. At-tijaratun walmutjar yaitu perdagangan, perniagaan (menurut kamus al-munawwir).
C.    Beberapa prinsip umum etika bisnis
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik tidak dapat dipisahkan. Dalam berbisnis di Jepang akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat Jepang. Begitu juga di Eropa, Amerika, dan Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakatnya. Sebagai etika khusus atau etika terapan, prinsip-prinsip etika yang berlaku dalam berbisnis adalah penerapan dari prinsip etika pada umumnya.[3]
D.    Prinsip etika berbisnis konvensional
1.      Prinsip Otonomi
Adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadaranya untuk memilih tindakan yang paling baik dilakukan. Unsur hakiki dari prinsip otonom ini adalah kebebasan untuk bertindak secara etis dan bertanggung jawab. Etis adalah tindakan yang bersumber dari kemauan  baik serta kesadaran pribadi. Orang yang otonom adalah orang yang sadar akan kewajibanya dan bebas mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan apa yang dianggap baik, melainkan juga adalah orang yang bersedia mempertanggung jawabkan keputusannya dan tidakanya serta mampu bertanggung jawab atas keputusan dan tindakanya serta dampak dari keputusan dan tindakanya. Tanggung jawab moral juga tertuju kepada semua pihak terkait yang berkepentingan (stakeholders): konsumen penyalur, pemasok, investor, atau kreditor, karyawan, masyarakat luas, relasi-relasi bisnis, pemerintah, dan seterusnya. Artinya, segi kepentingan pihak-pihak terkait, dapat dipertanggungjawabkan secara moral.
2.      Prinsip Kejujuran
Kejujuran memang prinsip yang paling penting dalam kegiatan bisnis islami maupun konvensional. Para pelaku bisnis modern sadar dan mengakui bahwa memang kejujuran dalam berbisnis adalah kunci keberhasilannya. Kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Dalam meengikat perjanjian semua pihak secara a priori saling percaya, serius serta tulus dan jujur dalam membuat dan melaksanakannya. Jika ada salah satu pihak yang tidak jujur maka akan menimbulkan efek multiplier-expansive. Kejujuran juga relevan dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Dengan 1x saja seorang pebisnis berbohong tentang hal apapun jangan harap mendapatkat kepercayaan lagi.
3.      Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil, kriteria yang rasional objektif, dan dapat dipertanggung jawabkan. Tidak boleh ada pihak yang dirugikan.
Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
(1)   Keadilan distributive
Yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social.
(2)   Keadilan retributive
Yaitu keadilan yang terkait dengan retribution (ganti rugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas konsekuensi negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain.
(3)   Keadilan kompensatoris
Yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia. Apabila moral merupakan suatu pendorong orang untuk melakukan kebaikan, maka etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
4.      Prinsip Saling menguntungkan ( mutual benefit principle).
Saling menguntungkan adalah tujuan utama jika kita bekerja sama dengan orang lain. Karena tidak akan ada kecemburuan sosial jika salah satu dirugikan dan bisa dituntut kejalur hukum jika tidak sesuai perjanjian.
5.      Prinsip Integritas moral
Prinsip ini terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan agar tetap menjaga nama baiknya atau nama baik perusahaannya.
E.     Etos bisnis
Bagaimana menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis ini sehingga benar-benar operasional. Banyak perusahaan besar sesungguhnya telah mengambil langkah yang tepat ke arah penerapannya. Dengan membangun budaya perusahaan atau lebih cendrung etos bisnis. Etos bisnis adalah suatu kebiasaan atau budaya moral menyangkut kegiatan bisnis yang dianut dalam suatu perusahaan dari satu generasi ke generasi lain. Intinya adalah pembiasaan atau pembudayaan penghayatan akan nilai, norma, dan moral. Wujudnya bisa dalam bentuk pengutamaan mutu, pelayanan, disiplin, kejujuran, tanggung jawab, keadilan, dll.
F.     Relativitas dalam bisnis
Berdasarkan prinsip-prinsip etika bisnis diatas, dapat dikatakan bahwa dalam bisnis modern dewasa ini orang dituntut untuk bersaing secara etis. Demikian kata De George, etika siapa? Ini terutama berlaku dalam bisnis global yang tidak mengenal batas negara. Konkretnya etika masyarakat mana yang harus diikuti oleh sebuah perusahaan multinasional dari Amerika, misalnya yang beroperasi di Asia, jauh berbeda norma dan etika dengan di Amerika.[4] 
Ada dua keunggulan prinsip integritas pribadi. Pertama, prinsip intergritas pribadi tidak punya konotasi negatif, norma yang dianut adalah norma yang sudah diterima menjadi milik pribadi dan tidak bersifat external.[5]
G.    Pendekatan stakeholder
Pemerintah
Asing
Pada umumnya ada dua kelompok stakeholder : kelompok primer terdiri dari pemilik modal/saham, kreditor, karyawan, pemasok, konsumen, penyalur, dan pesaing. Kelompor sekunder terdiri dari pemerintah setempat, pemerintah asing, kelompok sosial, media massa, kelompok pendukung, masyarakat umum dan setempat. Relasi antara suatu perusahaan dengan kedua kelompok stakeholder digambarkan sebagai berikut.[6]

Pemerintah setempat
Media
Massa
 
Pekerja
Pemilik
 


    
Perusahaan
Penyalur
Rekan Bisnis
Konsumen
Pemasok
Kreditor
Kelompok Pendukung
Aktivitas
Sosial
Pemegang
saham
Masyarakat
Setempat

H.    Dalam menciptakan etika bisnis, Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk
memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pengendalian Diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masingmasing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etik".
2. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.
3. Mempertahankan Jati Diri
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Namun demikian bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.


4. Menciptakan Persaingan yang Sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5.  Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6.      Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan
Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar Golongan Pengusaha
Untu menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada sikap saling  percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main Bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Memelihara Kesepakatan
Memelihara kesepakatan atau menumbuhkembangkan Kesadaran dan rasa Memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Menuangkan ke dalam Hukum Positif
Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi. Ahli pemberdayaan kepribadian Uno (2004) menjelaskan bahwa mempraktikkan bisnis dengan etiket berarti mempraktikkan tata cara bisnis yang sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling menghormati. Etiket berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam organisasi. Itu berupa senyum -- sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih, tidak menyalahgunakan kedudukan, kekayaan, tidak lekas tersinggung, kontrol diri, toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain. Dengan kata lain, etiket bisnis itu memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan perusahaan. Sedangkan berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan toleransi.
I.       Tiga Prinsip Universal
Kasus yang paling gampang adalah Enron, sebuah perusahaan enerji yang sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi. Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants: membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau biasa disebut “spark spread“.
Sebagai sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baik tersebut. Sebagai perusahaan Amerika terbesar kedelapan, Enron kemudian tersungkur kolaps pada tahun 2001. Tepat satu tahun setelah California energy crisis. Seleksi alam akhirnya berlaku. Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk akan mendapat punishment. Termasuk juga pihak-pihak yang mendukung tercapainya hal tersebut — dalam hal ini Arthur Andersen. Bisa saja kita menipu seseorang, tetapi tak akan mungkin selamanya menipu, kan? Apa enaknya hidup penuh tipu-tipu yang tidak akan pernah menentramkan batin. Kasus Enron membuktikan bahwa pelaku bisnis yang curang akan menunggu waktu saja masuk jurang, sedangkan yang jujur tidak akan pernah hancur dan menunggu waktu saja untuk mujur. Hal ini dijastifikasi oleh hukum besi yang tidak bisa dielakkan oleh siapan karena menyangkut nasib manusia, termasuk pelaku-pelaku bisnis kotor atau tidak beretika yang penuh tipu-tipu yaitu, ”Hukum Sebab- Akibat”, ”Aksi-Reaksi”, dan ”Menabur-Menuai” adalah kebenaran sepanjang zaman, prinsip universal yang telah ada sejak awal sejarah. Dalam Agama Hindu rangkuman ketiga hukum besi ini tidak lain adalah ”Karma- Pahala”, di mana Karma = Sebab, Aksi, Menabur, dan Pahala = Akibat, Reaksi, Menuai. Artinya, apapun yang diperbuat oleh seseorang, kelak itulah yang Dia petik. Jika seseorang berbuat jahat terhadap orang lain, maka hasil kejahatan yang akan mereka nikmati, sebaliknya jika perbuatan baik mereka taburkan maka hasil perbuatan baik yang akan mereka tuai atau hasilkan.


BAB III
P E N U T U P

1. Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good” atau buruk (bad)”. Sedangkan Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah.
2. Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik.
3. Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.












DAFTAR PUSTAKA

Keraf, A. Sonny. 2006. Etika Bisnis tuntutan dan relevansinya . Pustaka Filsafat. Baswir, Revrisond. 2004. Etika Bisnis. Dalam Kompas Senin, 08 Maret 2004. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Buchholtz, R.A and S. B. Rosenthal. 1998. Business Ethics. Upper Saddle River, N.J.: Prentice Hall.
Dalimunthe, Rita F. 2004. Etika Bisnis. Dalam Website Google: Etika Bisnis dan
Pengembangan Iptek.
DeGeorge, R. 2002. Business Ethics. Upper Saddle River, N.J.: Prentice-Hall, 5 th
Ed.Echols, John M and Shadily, Hasan. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Hatta, Mohammad. 1960. Pengantar ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan. PT. Pembangunan Djakarta. 31 Hal. It Pin. 2006. Etika dan Bisnis. Dalam Kompas, Jumat 30 Juni 2006.
Mulkhan, Abdul Munir. 2005. Etika Welas Asih dan Reformasi Sosial Budaya Kiai Ahmad Dahlan. Dalam Kompas 1 Oktober 2005. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Nofie, lman, Nofie ?, Pengantar Etika Bisnis. Dalam Website Google: Etika Bisnis dan Pengembangan Iptek. Nofie, Iman. 2006. Etika Bisnis dan Bisnis Beretika. Dalam Website Google: Etika
Bisnis dan Pengembangan Iptek.
Rukmana. 2004. Etika Bisnis dalam Prinsip Ekonomi Syariah. Makalah Disajikan
pada Seminar “Etika Bisnis Dalam Pandangan Islam” yang Diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Bandung, sabtu 6 Maret 2004.
Sims, R. 2003. Ethics and Corporate Social Responsibility - Why Giants Fall. C.T.
Greenwood Press.





[1]    (Franz Magnis-Suseno :1999)
[2] . (Tim Penulis Rasda Karya : 1995)
[3] Bandingkan juga Franz Magnis-Suseno, op.cit.,hlm 129-139
[4]  Richard T. De George, Competing with integrty in internasional business (New York: Oxford Univ. hlm.8-9.
[5]  Richard T. De George, Competing with integrty in internasional business (New York: Oxford Univ. hlm. 6.
[6]  Bandingkan William C. Fredrick, James E. Post, Keith Davis, Business and society. Corporate Startegy, Public, Policy, Ethics, edisi ke-7 (New York: McGraw-Hill, 1992, Hlm.10,12,13.)